Jumat, 15 Februari 2013

Internalisasi Karakter Pemuda Qur'ani dalam Mengikis Dekadensi Moral Bangsa

Dunia
Akulah pemuda

Yang lahir dari rahim peradaban

Dibesarkan oleh zaman

Dididik oleh pengalaman 

Dunia

Izinkan aku menyampaikan dengan jelas
Dengan tegar dan semangat

bahwa aku punya cita

Tak sekedar kata dan orasi

Tapi kerja nyata dan realisasi



Dunia
Izinkan aku mengabarkan

Bahwa di tanah pertiwi ini

Masih ada pemuda yang peduli

Pada keadaan negeri ini

Dan aku pun rela . . .

Jika tubuh ini menjadi gontai karena lelah

Jika kulit kulit ini menjadi kusam dibakar matahari

Biarlah, dia menjadi saksi sejarah

Bahwa aku tlah berjuang
Tuk ciptakan perbaikan


Bu, inilah anakmu
Yang melangkah gagah dengan pasti

Bu inilah jalanku

Bu, Nyatanya jalan ini begitu panjang,
Begitu terjal dan curam

Tapi Bu, jalan ini telah kutapaki
Terjalnya telah ku awasi

Puncaknya kan ku daki

Izinkah aku, untuk berbakti

(“Pemuda” by Dedy Setiawan)

Pemuda, sosok yang tidak pernah sedikitpun lepas dari penilaian banyak orang. Pemuda, sosok yang selalu menjadi pusat perhatian dan penantian karena semangatnya. Pemuda, sosok yang selalu diidam-idamkan karena perjuangannya. Pemuda, sosok yang tak mungkin terlupa karena baktinya pada negara. Pemuda, harapan rakyat sekaligus pemegang tahta pewaris peradaban. Islam sebagai agama rahmatan lil‘aalamiin menaruh perhatian besar pada hal ini. Sebagai contoh, Al Qur’anul Karim telah menampilkan sosok pemuda yang menjadi bintang dan pertanda zamannya (lihat QS. Al Anbiya : 60, QS. Al Kahfi : 10-13, QS.Yusuf : 30) dan menampilkan sosok pemuda yang kritis seperti pada karakter Nabi Ibrahim, selain itu Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam- bersabda dalam hadits Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-,
“Tidak akan beranjak kaki anak Adam pada Hari Kiamat dari sisi Rabbnya sampai dia ditanya tentang 5 (perkara) : Tentang umurnya dimana dia habiskan, tentang masa mudanya dimana dia usangkan, tentang hartanya dari mana dia mendapatkannya dan kemana dia keluarkan dan tentang apa yang telah dia amalkan dari ilmunya”. (HR. At-Tirmizi)
Dalam hal ini jelaslah bahwa Islam menaruh perhatian yang teramat besar terhadap eksistensi dan fungsi dari pemuda sebagai cikal bakal perkembangan bangsa.
Benarlah jika dikatakan “Kemajuan sebuah bangsa, terletak pada kemajuan para pemudanya”. Pernyataan seperti ini bukanlah sembarang pernyataan. Disini ditekankan bahwa pemuda menjadi simbolisme dan tolak ukur kemajuan Negara. Sebutlah Cina, Jepang, Amerika, Jerman, bahkan Negara tetangga kita sendiri yaitu Malaysia. Kita tidak akan berbicara tentang seluk-beluk negara-negara tersebut, apakah termasuk Negara sekuler, liberal, ataupun sosialis, yang pasti esensi nilai yang difokuskan disini adalah bahwa bagaimana negara-negara tersebut menaruh perhatian begitu besarnya terhadap laju kondisi pemudanya. Sebenarnya apakah yang menyebabkah para pemuda di negara-negara tersebut memiliki kesadaran  yang tinggi.  Lalu, dimanakah posisi ataupun keadaan pemuda di negara kita saat ini, terlebih sejak masuknya era globalisasi? Seperti yang kita ketahui bersama bahwa globalisasi menghadirkan banyak perubahan yang signifikan bagi peradaban manusia, tidak terkecuali bagi bangsa kita sendiri.  Kecanggihan dari berbagai teknologi telah menawarkan berbagai keunggulan yang pada akhirnya me-lullaby-kan manusia itu sendiri. Motor, mobil, handphone, laptop, dan berbagai ‘gadget’ lainnya yang seharusnya berdampak positif bagi kemajuan bangsa kita, pada kenyataannya justru merusak dan memperburuk kondisi bangsa kita sendiri, dalam hal ini adalah semakin bobroknya moral pemuda yang sejatinya kita nantikan peranannya untuk membangun bangsa kita yang sudah semakin jauh dari harapan para founding father di masa lampau.
Dilema-dilema moral terkait pemuda menjadi santapan sehari-hari bagi publik di negara kita ini dan aneh sekali bahwa justru dinegara yang mayoritas beragama Islam seperti Indonesia ini, dilema-dilema moral terkait pemuda marak terjadi. Dalam persoalan ini bukanlah Islamnya yang keliru karena Islam itu Qudus (suci) untuk dipersalahkan, tetapi kekeliruan tersebut terletak pada diri pemuda itu sendiri. Kasus perkosaan, free sex, merebaknya minuman beralkohol di kalangan pelajar, serta tawuran Genk antar sekolah (yang terakhir ini berdasarkan hasil wawancara dengan Candra, salah satu siswa di salah satu SMA swasta di Yogyakarta yang mengaku menjadi korban brutalisme dari merebaknya genk-genk tersebut) menghiasi kehidupan pemuda kita. Fakta-fakta seperti ini seyogyanya tidak ditemukan dalam era globalisasi yang serba maju ini. Lalu, apakah semua ini adalah kesalahan yang wajar dari hadirnya era globalisasi? Tidaklah bijak jika kita menyalahkan  produk globalisasi sebagai alasan utama atas permasalahan pemuda yang terjadi di negara kita karena globalisasi adalah keharusan historis yang tak dapat kita tolak berkaitan dengan peningkatan kemampuan akal manusia. Kondisi kejiwaan yang semakin rapuh karena dampak negatif yang tak tercegahkan oleh para pemuda ini disebabkan karena semakin berkurangnya pemuda-pemuda Islam yang menginternalisasikan nilai substansial Al Qur’an di dalam dirinya atau dalam kata lain pemuda telah semakin jauh dari pedoman hidupnya sehingga tentu saja dia tidak memiliki pegangan hidup yang membatasi prilakunya. Ketika kita dapat memahami kondisi yang terjadi pada pemuda seperti ini, kiranya wajar bila problematika-problematika marak terjadi di lingkungan kita khususnya bagi pemuda. Kewajaran seperti ini tidak lantas membuat kita membiarkan begitu saja ke’jahiliyah’an ini terjadi, kita harus mengupayakan diri menghadirkan kembali sosok-sosok pemuda yang menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai pedoman otentik yang menjadi sumber intuisi mereka dalam bersikap. Pemuda seperti ini nantinya disebut sebagai “Pemuda Qur’ani”.
Setidaknya ada 4 aspek penting yang  menjadi landasan utama bagi pemuda Qur’ani untuk mengikis bobrokisasi moral bangsa, yaitu kepribadian, intelektualitas, moralitas, dan sosiabilitas. Kepribadian menekankan pada aspek ruhaniyah yang dimiliki oleh pemuda tersebut. Seorang pemuda Qur’ani secara bertahap membangun kepribadiannya agar selaras dengan nilai-nilai yang Al Qur’an ajarkan sehingga kepribadian yang dihasilkan adalah kepribadian islami. Intelektualitas menekankan pada pendayagunaan akal dan pikiran dalam menganalisis persoalan yang ada di sekitar. Seorang pemuda Qur’ani akan memenuhi pikirannya dengan persoalan analisis. Al Qur’an sebagai naskah otentik menjadi titik awal dalam menentukan sikap atau dalam bahasa lain dianggap sebagai landasan utama dalam menyikapi problematika yang ada. Sehingga laju analis/ pemikiran seorang pemuda Qur’ani berangkat dari teks (Al Qur’an dan As Sunnah) menuju konteks yang lebih luas (kehidupan). Intelektualitas yang didasarkan pada kebenaran wahyu tidak akan berdampak negatif terhadap perkembangan moral, justru sebaliknya membangun karakter yang kokoh. Karakter ini menjadikan seorang pemuda Qur’ani tersebut terbebas dari sifat pragmatisme sesaat, dia akan lebih cermat dalam menyikapi hidup dan akan selalu bersikap kritis, tentu saja dengan limitasi nilai-nilai ketuhanan, terhadap segala yang diterimanya. Ketiga adalah moralitas yang menekankan pada aspek prilaku ( istilah lainnya adalah Akhlaq). Dalam konteks kebangsaan moralitas dibutuhkan untuk pembangunan demokrasi, pengelolaan negara yang baik (good governance) dan pembangunan bangsa yang maju dan beradab. Karakter yang ketiga ini merupakan perpaduan dari kepribadian yang sarat akan nilai Qur’ani dan analisis yang cermat, sehingga moralitas yang ditampilkan merupakan cerminan dari ketajaman berpikir dan kondisi kejiwaan yang baik dari sosok pemuda Qur’ani. Aspek yang terakhir adalah sosiabilitas. Aspek ini berkaitan dengan hubungan interpersonal atau komunikasi dengan orang lain dan lingkungan.
Keempat aspek diatas bersifat integral. Tidak dibenarkan menggunakan salah satu aspek dan meniadakan ketiga aspek lainnya. Keseluruhan aspek ini terinternalisasi dalam jiwa pemuda Qur’ani. Keberperanan pemuda dengan karakter Qur’ani yang tinggi akan senantiasa menginginkan adanya perbaikan bagi masa depan bangsanya, masa depan pemuda-pemuda di negaranya. Seorang pemuda Qur’ani tidaklah menyimpan kebaikan dalam diri sendiri, tetapi dia memiliki keinginan yang kuat untuk merubah lingkuangan dengan menyebarkan nilai-nilai moral.  Pembacaan lebih, baik terhadap aspek qauliyah (wahyu), kauniyah (alam), maupun nafsiyah (humaniora) menjadikan pemuda Qur’ani mampu mencermati segala hal secara objektif tanpa di pengaruhi oleh berbagai tendensi tertentu. Pembacaan-pembacaan lebih terhadap ketiga aspek tersebut juga nantinya akan membawa kita pada kesadaran akan pembelajaran terhadap sejarah, baik sejarah pemuda dalam kepemimpinan Rasulullah SAW ataupun sejarah pemuda yang memenuhi sejarah bangsa Indonesia. Perbandingan loncatan waktu antara masa kini dengan angka bobrokisasi moral cukup tinggi dan masa lampau dengan semangat perubahan yang menggelora dapat menjadi alat kontemplasi yang cukup efektif, untuk menyadarkan diri tentang peran pemuda sebagai garda depan penentu kebangkitan bangsa.
Pada akhirnya negara dengan angka bobrokisasi yang terlampau tinggi ini sangat membutuhkan hadirnya sosok pemuda Qur’ani dalam menyelesaikan dilema-dilema ataupun problematika penyebab runtuhnya moral bangsa, khususnya moral pemuda.  sosok pemuda Qur’ani dirasa mampu menyelesaikan problematika ini didasarkan pada ke empat aspek yang dimilikinya, yaitu kepribadian, intelektualitas, moralitas, dan sosiabilitas, sehingga mampu membaca permasalahan dan melihat segala sesuatu secara objektif atau dalam bahasa lainnya mendahulukan proses analisis dibandingkan dengan bertindak secara pragmatis tanpa mempertimbangkan apapun. Selain itu pengetahuan terkait sejarah kepemudaan dirasa perlu untuk dijadikan alat refleksi diri apakah mengalami kemajuan atau malah sebaliknya. Yakinilah, setidaknya mulai dari diri sendiri, bahwa tiada hal yang utopis jika mau berusaha. Jadikan diri kita salah satu dari pemuda Qur’ani  yang mampu mengikis bobrokisasi moral bangsa.

-Anta-
(Profil Penulis)

Bahan Rujukan:
1.      Hamidwahid.blogspot.com/2007/05/moralitas-pemuda-menyongsong-milenium.html
3.      Kuntowijoyo.2006.Islam sebagai Ilmu, Epistomologi, Metodologi, dan Etika.Yogyakarta:Tiara Wacana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...