Dunia
Akulah pemuda
Yang lahir dari rahim peradaban
Dibesarkan oleh zaman
Dididik oleh pengalaman
Dunia
Izinkan aku menyampaikan dengan jelas
Dengan tegar dan semangat
bahwa aku punya cita
Tak sekedar kata dan orasi
Tapi kerja nyata dan realisasi
Dunia
Izinkan aku mengabarkan
Bahwa di tanah pertiwi ini
Masih ada pemuda yang peduli
Pada keadaan negeri ini
Dan aku pun rela . . .
Jika tubuh ini menjadi gontai karena lelah
Jika kulit kulit ini menjadi kusam dibakar matahari
Biarlah, dia menjadi saksi sejarah
Bahwa aku tlah berjuang
Tuk ciptakan perbaikan
Bu, inilah anakmu
Yang melangkah gagah dengan pasti
Bu inilah jalanku
Bu, Nyatanya jalan ini begitu
panjang,
Begitu terjal dan curam
Tapi Bu, jalan ini telah kutapaki
Terjalnya telah ku awasi
Puncaknya kan ku daki
Izinkah aku, untuk berbakti
(“Pemuda”
by Dedy Setiawan)
Pemuda, sosok yang tidak pernah
sedikitpun lepas dari penilaian banyak orang. Pemuda, sosok yang selalu menjadi
pusat perhatian dan penantian karena semangatnya. Pemuda, sosok yang selalu
diidam-idamkan karena perjuangannya. Pemuda, sosok yang tak mungkin terlupa
karena baktinya pada negara. Pemuda, harapan rakyat sekaligus pemegang tahta
pewaris peradaban. Islam sebagai agama rahmatan lil‘aalamiin menaruh perhatian
besar pada hal ini. Sebagai contoh, Al Qur’anul Karim telah menampilkan sosok
pemuda yang menjadi bintang dan pertanda zamannya (lihat QS. Al Anbiya : 60,
QS. Al Kahfi : 10-13, QS.Yusuf : 30) dan menampilkan sosok pemuda yang kritis
seperti pada karakter Nabi Ibrahim, selain itu Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-
bersabda dalam hadits Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-,
“Tidak akan beranjak kaki anak Adam
pada Hari Kiamat dari sisi Rabbnya sampai dia ditanya tentang 5 (perkara) :
Tentang umurnya dimana dia habiskan, tentang
masa mudanya dimana dia usangkan, tentang hartanya dari mana dia
mendapatkannya dan kemana dia keluarkan dan tentang apa yang telah dia amalkan
dari ilmunya”. (HR. At-Tirmizi)
Dalam hal ini jelaslah bahwa Islam menaruh perhatian
yang teramat besar terhadap eksistensi dan fungsi dari pemuda sebagai cikal
bakal perkembangan bangsa.
Benarlah jika dikatakan “Kemajuan
sebuah bangsa, terletak pada kemajuan para pemudanya”. Pernyataan seperti ini
bukanlah sembarang pernyataan. Disini ditekankan bahwa pemuda menjadi
simbolisme dan tolak ukur kemajuan Negara. Sebutlah Cina, Jepang, Amerika,
Jerman, bahkan Negara tetangga kita sendiri yaitu Malaysia. Kita tidak akan
berbicara tentang seluk-beluk negara-negara tersebut, apakah termasuk Negara
sekuler, liberal, ataupun sosialis, yang pasti esensi nilai yang difokuskan disini
adalah bahwa bagaimana negara-negara tersebut menaruh perhatian begitu besarnya
terhadap laju kondisi pemudanya. Sebenarnya apakah yang menyebabkah para pemuda
di negara-negara tersebut memiliki kesadaran
yang tinggi. Lalu, dimanakah
posisi ataupun keadaan pemuda di negara kita saat ini, terlebih sejak masuknya era
globalisasi? Seperti yang kita ketahui bersama bahwa globalisasi menghadirkan
banyak perubahan yang signifikan bagi peradaban manusia, tidak terkecuali bagi
bangsa kita sendiri. Kecanggihan dari
berbagai teknologi telah menawarkan berbagai keunggulan yang pada akhirnya me-lullaby-kan manusia itu sendiri. Motor,
mobil, handphone, laptop, dan berbagai ‘gadget’
lainnya yang seharusnya berdampak positif bagi kemajuan bangsa kita, pada
kenyataannya justru merusak dan memperburuk kondisi bangsa kita sendiri, dalam
hal ini adalah semakin bobroknya moral pemuda yang sejatinya kita nantikan
peranannya untuk membangun bangsa kita yang sudah semakin jauh dari harapan
para founding father di masa lampau.
Dilema-dilema moral terkait pemuda
menjadi santapan sehari-hari bagi publik di negara kita ini dan aneh sekali bahwa
justru dinegara yang mayoritas beragama Islam seperti Indonesia ini,
dilema-dilema moral terkait pemuda marak terjadi. Dalam persoalan ini bukanlah
Islamnya yang keliru karena Islam itu Qudus (suci) untuk dipersalahkan, tetapi
kekeliruan tersebut terletak pada diri pemuda itu sendiri. Kasus perkosaan, free sex, merebaknya minuman beralkohol
di kalangan pelajar, serta tawuran Genk
antar sekolah (yang terakhir ini berdasarkan hasil wawancara dengan Candra,
salah satu siswa di salah satu SMA swasta di Yogyakarta yang mengaku menjadi
korban brutalisme dari merebaknya genk-genk tersebut) menghiasi kehidupan
pemuda kita. Fakta-fakta seperti ini seyogyanya tidak ditemukan dalam era
globalisasi yang serba maju ini. Lalu, apakah semua ini adalah kesalahan yang
wajar dari hadirnya era globalisasi? Tidaklah bijak jika kita menyalahkan produk globalisasi sebagai alasan utama atas
permasalahan pemuda yang terjadi di negara kita karena globalisasi adalah
keharusan historis yang tak dapat kita tolak berkaitan dengan peningkatan
kemampuan akal manusia. Kondisi kejiwaan yang semakin rapuh karena dampak
negatif yang tak tercegahkan oleh para pemuda ini disebabkan karena semakin
berkurangnya pemuda-pemuda Islam yang menginternalisasikan nilai substansial Al
Qur’an di dalam dirinya atau dalam kata lain pemuda telah semakin jauh dari
pedoman hidupnya sehingga tentu saja dia tidak memiliki pegangan hidup yang
membatasi prilakunya. Ketika kita dapat memahami kondisi yang terjadi pada
pemuda seperti ini, kiranya wajar bila problematika-problematika marak terjadi
di lingkungan kita khususnya bagi pemuda. Kewajaran seperti ini tidak lantas
membuat kita membiarkan begitu saja ke’jahiliyah’an
ini terjadi, kita harus mengupayakan diri menghadirkan kembali sosok-sosok
pemuda yang menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai pedoman otentik yang
menjadi sumber intuisi mereka dalam bersikap. Pemuda seperti ini nantinya
disebut sebagai “Pemuda Qur’ani”.
Setidaknya ada 4 aspek penting yang menjadi landasan utama bagi pemuda Qur’ani untuk
mengikis bobrokisasi moral bangsa, yaitu kepribadian, intelektualitas,
moralitas, dan sosiabilitas. Kepribadian menekankan pada aspek ruhaniyah yang
dimiliki oleh pemuda tersebut. Seorang pemuda Qur’ani secara bertahap membangun
kepribadiannya agar selaras dengan nilai-nilai yang Al Qur’an ajarkan sehingga
kepribadian yang dihasilkan adalah kepribadian islami. Intelektualitas
menekankan pada pendayagunaan akal dan pikiran dalam menganalisis persoalan
yang ada di sekitar. Seorang pemuda Qur’ani akan memenuhi pikirannya dengan
persoalan analisis. Al Qur’an sebagai naskah otentik menjadi titik awal dalam
menentukan sikap atau dalam bahasa lain dianggap sebagai landasan utama dalam
menyikapi problematika yang ada. Sehingga laju analis/ pemikiran seorang pemuda
Qur’ani berangkat dari teks (Al Qur’an dan As Sunnah) menuju konteks yang lebih
luas (kehidupan). Intelektualitas yang didasarkan pada kebenaran wahyu tidak
akan berdampak negatif terhadap perkembangan moral, justru sebaliknya membangun
karakter yang kokoh. Karakter ini menjadikan seorang pemuda Qur’ani tersebut
terbebas dari sifat pragmatisme sesaat, dia akan lebih cermat dalam menyikapi
hidup dan akan selalu bersikap kritis, tentu saja dengan limitasi nilai-nilai
ketuhanan, terhadap segala yang diterimanya. Ketiga adalah moralitas yang menekankan
pada aspek prilaku ( istilah lainnya adalah Akhlaq). Dalam konteks kebangsaan
moralitas dibutuhkan untuk pembangunan demokrasi, pengelolaan negara yang baik (good governance) dan pembangunan bangsa yang maju dan beradab. Karakter yang ketiga
ini merupakan perpaduan dari kepribadian yang sarat akan nilai Qur’ani dan
analisis yang cermat, sehingga moralitas yang ditampilkan merupakan cerminan
dari ketajaman berpikir dan kondisi kejiwaan yang baik dari sosok pemuda
Qur’ani. Aspek yang terakhir adalah sosiabilitas. Aspek ini berkaitan dengan
hubungan interpersonal atau komunikasi dengan orang lain dan lingkungan.
Keempat aspek diatas bersifat
integral. Tidak dibenarkan menggunakan salah satu aspek dan meniadakan ketiga
aspek lainnya. Keseluruhan aspek ini terinternalisasi dalam jiwa pemuda
Qur’ani. Keberperanan pemuda dengan karakter Qur’ani yang tinggi akan
senantiasa menginginkan adanya perbaikan bagi masa depan bangsanya, masa depan
pemuda-pemuda di negaranya. Seorang pemuda Qur’ani tidaklah menyimpan kebaikan
dalam diri sendiri, tetapi dia memiliki keinginan yang kuat untuk merubah
lingkuangan dengan menyebarkan nilai-nilai moral. Pembacaan lebih, baik terhadap aspek qauliyah
(wahyu), kauniyah (alam), maupun nafsiyah (humaniora) menjadikan pemuda Qur’ani
mampu mencermati segala hal secara objektif tanpa di pengaruhi oleh berbagai
tendensi tertentu. Pembacaan-pembacaan lebih terhadap ketiga aspek tersebut
juga nantinya akan membawa kita pada kesadaran akan pembelajaran terhadap
sejarah, baik sejarah pemuda dalam kepemimpinan Rasulullah SAW ataupun sejarah
pemuda yang memenuhi sejarah bangsa Indonesia. Perbandingan loncatan waktu
antara masa kini dengan angka bobrokisasi moral cukup tinggi dan masa lampau
dengan semangat perubahan yang menggelora dapat menjadi alat kontemplasi yang
cukup efektif, untuk menyadarkan diri tentang peran pemuda sebagai garda depan
penentu kebangkitan bangsa.
Pada akhirnya negara dengan angka
bobrokisasi yang terlampau tinggi ini sangat membutuhkan hadirnya sosok pemuda
Qur’ani dalam menyelesaikan dilema-dilema ataupun problematika penyebab
runtuhnya moral bangsa, khususnya moral pemuda. sosok pemuda Qur’ani dirasa mampu
menyelesaikan problematika ini didasarkan pada ke empat aspek yang dimilikinya,
yaitu kepribadian, intelektualitas, moralitas, dan sosiabilitas, sehingga mampu
membaca permasalahan dan melihat segala sesuatu secara objektif atau dalam
bahasa lainnya mendahulukan proses analisis dibandingkan dengan bertindak
secara pragmatis tanpa mempertimbangkan apapun. Selain itu pengetahuan terkait
sejarah kepemudaan dirasa perlu untuk dijadikan alat refleksi diri apakah
mengalami kemajuan atau malah sebaliknya. Yakinilah, setidaknya mulai dari diri
sendiri, bahwa tiada hal yang utopis jika mau berusaha. Jadikan diri kita salah
satu dari pemuda Qur’ani yang mampu
mengikis bobrokisasi moral bangsa.
Bahan Rujukan:
1. Hamidwahid.blogspot.com/2007/05/moralitas-pemuda-menyongsong-milenium.html
3. Kuntowijoyo.2006.Islam sebagai Ilmu, Epistomologi, Metodologi, dan Etika.Yogyakarta:Tiara Wacana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar