Udara malam Yogyakarta masih basah. Langit belum berhenti menjatuhkan tetesan air. Memang tidak begitu deras. Tapi mampu membuat jejak di tembok kaca yang langsung menghadap keluar. Memburam terterpa dinginnya kabut.
Jarum perpustakaan Astronomi menunjukan pukul 01.05. Sudah empat jam lebih saya terjebak di pusaran buku-buku yang memenuhi tiap meter ruangan. Perpustakaan dengan koleksi ilmu perbintangan ini terletak di lantai tiga gedung laboraturium terpadu jurusan astronomi, Institut Teknik Yogyakarta.
Sebuah tempat yang terpaksa menjadi favorit bagi mahasiswa yang mengejar target tugas dan proyek. Termasuk dini hari, karena sebagian besar praktikum pengamatan langit hanya dapat dilakukan pada malam hari. Tempat pengamatan tepat berada di atas perpustakaan. Sebuah balkon luas tak beratap yang mampu menampung lima puluh pengamat bintang lengkap dengan teropongnya masing-masing.Malam ini hanya saya hanya sendiri yang beraktivitas. Bulan penghujan merupakan pilihan yang buruk untuk melakukan pengamatan. Selain itu tidak satupun mahasiswa yang mau turut bergabung dengan proyek tawaran dosen yang sedang aku kerjakan. “Sangat tidak menantang,” katanya. Tapi bagiku ini sangat menarik. Membuat gambaran posisi bintang dari langit kota Yogyakarta, lantas dijadikan sebuah software. Proyek ini akan sangat bermanfaat sebagai media pembelajaran Astronomi bagi para pelajar.
Bagi sebagian besar mahasiswa, mengerjakan prediksi matematis tabrakan antara Bima Sakti dengan Andromeda lebih menarik. Mitos kiamat yang terjadi karena tabrakan benda angkasa dengan bumi memang menjadi isu hangat di dunia sains saat ini. Dana yang dikucurkan donatur untuk penelitian ini tidak tanggung-tanggung. Bagi dosen yang berhasil mempublikasikan jurnal mengenai skenario kiamat yang sok ilmiah bisa langsung ganti tunggangan. Sedangkan proyek yang ditawarkan kepada saya hanya mampu menembus jurnal pendidikan atau seminar lokal di sekolah-sekolah. Itupun bagi saya sudah luar biasa untuk proyek sesederhana ini. Tapi sialnya data yang harus diambil ada pada bulan penghujan seperti ini. Hufh..
Drrrtt..drrtt.. handphone yang ada di balik buku yang saya baca bergetar.
“Assalamu’alaikum, Pak”
“Wa’alaikumussalam. Biruni kamu belum tidur. Malam ini sepertinya belum bisa mengambil data, ya.”, suara bass milik sang dosen terdengar dari seberang handphone.
“Iya, Pak. Padahal seminarnya tinggal dua pekan lagi. Ini saja belum setengahnya. Ada solusi, Pak?” kegusaranku akhirnya menemukan muaranya.
“Kamu tenang saja. Harus sabar, nggih. Oya saya sekalian mau bilang, besok kita tidak bisa ketemu. Beberapa dosen harus menghadiri International Summit dari Ikatan Ilmuan Internasional Indonesia di Auditorium. Untuk bukunya nanti kamu bisa ambil di meja saya. Untuk malam ini kamu tidur saja.”
“Iya, Pak. Terimakasih. Wa’alaikumussalam.” Perbincangan kuakhiri setelah dari seberang handphone mengucapkan salam.
Kurebahkan kembali tubuh ke kursi kayu yang cukup keras. Kulirik layar laptop dengan malas. Nampak gambar peta langit bulan Februari telah selesai dibuat. Betapa sulitnya mengamati langit malam beberapa hari terakhir ini. Hampir setiap malam di bulan Agustus tahun ini berawan bahkan hujan.
Sirius yang berkelap-kelip mengoda mata katuk untuk terus menatapnya. Paling benderang dengan sinar putihnya yang gagah. Tak begitu buruk peta langit yang saya kerjakan. Betelgeuse di sebelah utara Sirius tampak malu-malu menunjukan sinar kemerahannya. Apakah dia tidak menyadari si Aldebaran juga menemaninya dengan warna merah pula. Letak kedua bintang ini memang berdekatan. Aldebaran hanya sedikit kearah barat laut dari bintang maha raksasa bersuhu permukaan 3000 derajat Kelvin. Meski Aldebaran lebih panas dan lebih kecil karena termasuk kelas raksasa bersama Arcturus dan Poliux. Ah, tapi keduanya mirip. Memang begitulah, semua benda langit terkesan sangat mirip jika dipandang dari bumi. Bahkan saat pertama kali mengamati, hampir saja Betelgeuse yang berdiameter 300 kali dari matahari tertukar dengan Mars. Planet merah kembaran bumi yang terletak di posisi ke empat jajaran planet di solar system atau tata surya.
Tampak di langit ada sebuah jalur yang dihuni milyaran bintang. Seperti aliran sungai mengerlipkan cahaya matahari yang terpantul dari permukaan airnya. Begitu takjub hingga tak menyadari Ayah telah duduk di sampingku.
“Kalau tidak salah itu bagian lengan Bima Sakti, galaksi yang kita diami.”, ucapnya
“Wah indah betul. Tak pernah Biru lihat itu di Jakarta, Yah.”
“Wajarlah, di Jakarta langit sudah tertutupi asap pabrik. Oh iya, sekarang kan bulan Februari, Ayah masih ingat beberapa konstelasi atau rasi bintang di bulan ini. Ayah tunjukan padamu.” Ayah begitu bersemangat sambil menunjuk beberapa arah langit. “Kalau tidak salah itu Orion. Nah yang itu Taurus dan Leo. Kalau yang itu…… ”,
“Lho, ayah kok tahu banyak? Ayah kan sekolahnya bukan di sarjana Fisika.” Aku mulai terheran
“Memang yang sekolah di ekonomi tidak boleh tahu tentang bintang? Ayah suka Fisika terutama astronomi. Sedari kecil salah satu kebiasaan ayah memandang langit atau bintang. Kalau kita menatap bintang, ternyata sinar yang dipancarkan kepada kita itu sinarnya yang berjuta-juta tahun yang lalu, lho. Itu karena jaraknya yang sangat jauh. Galaksi Andromeda, galaksi yang terdekat dengan Bima Sakti saja jaraknya empat juta tahun cahaya. Artinya, apa yang kita lihat tentang Andromeda sekarang adalah keadaanya empat juta tahun yang lalu. Kalau mau tahu apa yang terjadi dengan Andromeda saat ini, ya tunggu empat juta tahun lagi. Jika Ayah ingin mengingat masa lalu, Ayah tinggal melihat bintang di langit. Karena mereka akan memberikan informasi tentang masa lalu.”
Penjelasan panjang lebar Ayah saat itu sangat penuh penjiwaan. Seperti ada sesuatu yang disimpan dalam hatinya. Terkadang menatap ke arah saya, namun lebih banyak ke arah langit.
“Waahh.. Ayah ternyata tahu banyak tentang bintang. Kenapa jadi astronot saja, Yah?”
“Hahaha… Susah kalau jadi astronot di Indonesia. Kakekmu yang menyuruh Ayah jadi ekonom. Hahaha... Tapi Ayah yakin, saat jamanmu kelak, ilmu astronomi dan riset tentang luar angkasa akan sangat dihargai di sini. Makanya, Ayah memberi nama kamu Biruni. Agar kamu kelak menjadi penerus generasi Al Biruni, seorang ilmuwan Khawarazm yang menanggap bahwa menelaah kosmos ciptaan Allah Subahanawata’ala adalah tugas mulia.”, kini sambil tangannya mengusap-usap rambutku.
Ya. Karena kenangan ketika saya berumur sebelas tahun itu memotivasi saya berada di sini. Menimba ilmu antariksa dan mengamati bintang-bintang yang tiap malam diceritakan Ayah dulu.
Aldebaran, Betelegius dan bintang lainnya masih setia mengisi layar laptop yang batrainya hampir habis.
“Aldebaran bintang penghuni rasi Taurus diberi nama oleh peradaban Arab kuno. Berasal dari Al-Dabar-an yang artinya pengikut . Hmm.. Kalau Betelgeuse. Bintang ini ada di rasi Orion. Namanya juga dari Arab kuno, Bait al-Jauzā atau rumah sang raksasa,” gumamku sembari menandai beberapa inti kalimat di penjelasan ensiklopedia.
Drrtt.. drrtt.. handphone-ku kembali bergetar. Kali ini ada pesan masuk. Tertera nama dosenku dan segera kubaca pesan singkatnya. “Sebelum tidur, kamu lebih baik sholat malam dulu. Setelah itu lansung istirahat. AWAS SHOLAT SHUBUHNYA KESIANGAN !!!”
A. Miftahuddin
Membaca kisah di atas, terbayang wajah ayah saya yang juga sangat menyukai bintang. :) Sewaktu kecil, saya selalu dimintai menemaninya memandangi langit malam. Seketika itu akan mengalir cerita-cerita hebatnya mengenai bintang-bintang itu. :)
BalasHapusMantab! Lanjutkan berkarya!